Senin, 07 Maret 2011

penalaran

1. Pengertian penalaran
Penalaran (reasoning, jalan pikiran) adalah suatu proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Penalaran bukan saja dapat dilakukan dengan menggunakan fakta-fakta yang masih berbentuk polos tetapi dapat juga dilakukan dengan menggunakan fakta-fakta yang telah dirumuskan dalam kalimat-kalimat berbentuk pendapat atau kesimpulan. Kalimat-kalimat semacam ini dalam hubungannya dengan proses berfikir tadi disebut proposisi. Proposisi dapat kita batasi sebagai pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau dapat ditolak karena kesalahan yang terkandung di dalamnya. Sebuah pernyataan dapat dibenarkan bila terdapat bahan-bahan atau fakta-fakta untuk membuktikannya. Sebaliknya sebuah pernyataan atau proposisi dapat disangkal atau ditolak bila terdapat fakta-fakta yang menentangnya. Perhatikan contoh-contoh berikut:
Semua manusia akan mati pada suatu waktu.
Beberapa orang Indonesia memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah.
Kota Bandung hancur dalam Perang Dunia Kedua karena bom atom.
Semua gajah telah punah tahun 1980.
Keempat kalimat di atas merupakan proposisi; kedua kalimat yang pertama dapat dibuktikan kebenarannya, dan yang kedua kalimat terakhir dapat ditolak karena fakta-fakta yang ada menentang kebenarannya. Tetapi keempatnya tetap merupakan proposisi.

2. Inferensi dan Implikasi
Kata inferensi berasal dari kata latin inferred yang berarti menarik kesimpulan. Kata implikasi juga berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata implicare yang berarti melibat atau merangkum. Dalam logika, juga dalam bidang ilmiah lainnya, kata inferensi adalah kesimpulan yang diturunkan dari apa yang ada atau dari fakta-fakta yang ada. Sedangkan implikasi dalah rangkuman, yaitu sesuatu yang dianggap ada karena sudah dirangkum dalam fakta atau evidensi itu sendiri. Banyak dari kesimpulan sebagai hasil dari proses berfikir yang logis harus disusun dengan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang tercakup dalam evidensi (=impilikasi), dan kesimpulan yang masuk akan berdasarkan implikasi (=inferensi). Perhatikan contoh berikut:
Bila seorang ibu mendengar tetesan air dalam kamar mandi, maka ia menarik kesimpulan bahwa kerannya bocor atau kerannya kurang cermat ditutup. Untuk menetapkan kesimpulan mana yang mempunyai kemungkinan yang paling tinggi, harus dipertimbangkan dua faktor: bagaimana kebiasaan penghuni rumah menggunakan keran, serta berapa lama usia paking keran itu. Jika si Adi mempunyai kebiasaan membiarkan keran terbuka, maka ibu dapat mengambil kesimpulan (dalam hal ini inferensia) bahwa: “Adi tidak menutup keran dengan cermat”. Tetapi jika keran itu tidak dapat ditutup secara normal, sedangkan di pihak lain pakingnya sudah lama diganti, maka dapat ditarik inferensi: “pakingnya sudah aus, sebab itu perlu diganti”.
Contoh di atas mengandung asumsi-asumsi tertentu. Tetesan-tetesan air sudah mencakup atau sudah ada implikasi kebocoran. Dari tetesan-tetesan itu timbul suatu dugaan bahwa suatau kebocoran mungkin merupakan akibat dari kelalaian manusia atau kerena kerusakan teknis. Sifat manusia yang ceroboh yang terjadi pada waktu-waktu sebelumnya, dapat terulang lagi. Kerusakan-kerusakan mekanis dapt disebabkan oleh bagian-bagian tertentu dari alat itu, yang dapat diketahui melalui penyelidikan.

3. Wujud Evidensi
Unsur yang paling penting dalam suatu tulisan argumentatif adalah evidensi. Pada hakikatnya evidensi adalah semua fakta yang ada, semua kesaksian, semua informasi, atau autoritas, dan sebagainya yang dihubung-hubungkan untuk membuktikan suatu kebenaran. Fakta dalam kedudukan sebagai evidensi tidak boleh dicampur-adukkan dengan apa yang dikenal sebagai pernyataan atau penegasan. Pernyataan tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap sebuah evidensi, ia hanya sekedar menegaskan apakah suatu fakta itu benar atau tidak. Dalam argumentasi, seorang penulis boleh mengandalkan argumentasinya dalam pernyataan saja, bila ia menganggap pendengar sudah mengetahui fakta-faktanya, serta memahami spenuhnya kesimpulan-kesimpulan yang diturunkan daripadanya.
Dalam wujudnya yang paling rendah evidensi itu berbentuk data atau informasi. Yang dimaksud dengan data atau informasi adalah bahan keterangan yang diperoleh dari suatu sumber tertentu. Biasanya semua bahan informasi berupa statistik, dan keterangan-keterangan yang dikumpulkan atau diberikan oleh orang-orang kepada seseorang, semuanya dimasukkan dalam pengertian data (apa yang diberikan) dan informasi (bahan keterangan). Pada dasarnya semua data dan informasi tersebut, harus diyakini dan diandalkan kebenarannya. Untuk itu penulis atau pembicara harus mengadakan pengujian atas data dan informasi tersebut, apakah semua bahan keterangan itu merupakan fakta. Fakta adalah sesuatau yang sungguh terjadi, atau sesuatu yang ada secara nyata.

4. Cara Menguji Data
Supaya data dan informasi dapat dipergunakan dalam penalaran, data dan informasi itu harus merupakan fakta. Dalam kedudukannya sebagai fakta, bahan-bahan itu siap digunakan sebagai evidensi. Sebab itu perlu diadakan pengujian-pengujian melalui cara-cara tertentu. Dibawah ini akan dikemukakan beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengadakan pengujian tersebut.
a) Observasi
Fakta-fakta yang diajukan sebagai evidensi mungkin belum memuaskan seorang pengarang atau penulis. Untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri dan pembaca, maka terkadang pengarang merasa perlu untuk mengadakan peninjauan atau observasi singkat untuk mengecek data atau informasi itu.
Pengalaman saja belum menjamin sepenuhnya bahwa pernyataan-pernyataan itu merupakan pernyataan yang faktual. Ada kemungkinan bahwa para informan atau pembicara membuat kesalahan ketika mereka harus menginterpretasikan fakta-fakta yang berada disekelilingnya atau yang berada di depan matanya. Oleh sebab itu, tiap pengarang atau penulis harus mengadakan observasi sendiri data atau informasi itu. Sesudah mengadakan observasi, penulis dapat menentukan sikap apakah data itu merupakan fakta atau tidak, atau hanya sebagian saja yang merupakan fakta dan sebagian lain hanya didasarkan pada perasaan dan prasangka para informan.
b) Kesaksian
Keharusan menguji data dan informasi, tidak selalu harus dilakukan dengan observasi. Kadang-kadang sangat sulit untuk mengharuskan seseorang mengadakan obsevasi atas obyek yang akan dibicarakan. Kesulitan itu terjadi karena waktu, tempat, dan biaya yang harus dikeluarkan. Untuk mengatasi hal itu penulis atau pengarang dapat melakukan pengujiaan dengan meminta kesaksian atau keterangan dari orang lain, yang telah mengalami sendiri atau menyelidiki sendiri persoalan itu. Seperti hakim yang tidak perlu mengadakan penyelidikan sendiri tentang fakta-fakta dari perkara yang tengah diadili. Ia dapat memanggil beberapa orang yang telah mengalami sendiri peristiwa tersebut. Seorang pengajar arkeologi tidak perlu menyelidiki sendiri reruntuhan atau peninggalan-peninggalan bersejarah di lembah Sungai Indus untuk menguraikan persoalan Ilmu Purbakala India kepada mahasiswanya. Ia dapat menggunakan kesaksian orang lain yang pernah mengadakan penelitian di sana melalui buku-buku atau majalah-majalah.
Demikian pula halnya dengan semua pengarang atau penulis. Untuk memperkuat evidensinya, mereka dapat menggunakan kesaksian-kesaksian orang lain yang telah mengalami sendiri peristiwa tersebut. Yang dimaksud dengan kesaksian disini tidak hanya mencakup apa yang didengar langsung dari seseorang yang mengalami suatu peristiwa, tetapi juga diketahui melalui buku-buku, dokumen-dokumen, dan sebagainya.
c) Autoritas
Cara ketiga yang dapat dipergunakan untuk menguji fakta dalam usaha menyusun evidensi adalah meminta pendapat dari suatu autoritas, yakni pendapat dari seorang ahli, atau mereka yang telah menyelidiki fakta-fakta itu dengan cermat, memperhatikan semua kesaksian, menilai semua fakta kemudian memberikan pendapat sesuai keahlian mereka dalam bidang itu. Nasihat seorang dokter tentang penyakit yang diderita akan ditaati oleh pasien, karena dokter itu dianggap sebagai suatu autoritas untuk setiap penyakit.
Dengan demikian autoritas dapat diartikan sebagai kesaksian ahli yang diberikan oleh seseorang, sebuah komisi, atau suatu badan atau kelompok yang dianggap berwenang untuk itu.

5. Cara Menguji Fakta
Seperti telah dikemukakan di atas, untuk menetapkan apakah data atau informasi yang kita peroleh itu merupakan fakta, maka harus diadakan penilaian, apakah data-data atau informasi itu merupakan kenyataan. Penilaian untuk mendapatkan keyakinan bahwa data atau informasi itu adalah fakta merupakan penilaian-penilaian tingkat pertama. Penulis harus mengadakan penilaian tingkat kedua yaitu mengadakan seleksi untuk menentukan fakta-fakta mana yang dapat dijadikan evidensi dalam argumentasi itu.
a) Konsistensi
Dasar pertama yang dipakai untuk menetapkan fakta mana yang akan dipakai sebagai evidensi adalah kekonsistenan. Sebuah argumentasi akan kuat dan mempunyai tenaga persuasif yang tinggi, kalau evidensi-evidensinya bersifat konsisten, tidak ada satu evidensi bertentangan atau melemahkan evidensi yang lain.
b) Koherensi
Dasar kedua yang dipakai untuk mengadakan penilaian fakta mana yang dapat dipergunakan sebagai evidensi adalah masalah koherensi. Semua fakta yang akan digunakan sebagai evidensi harus pula koheren dengan pengalaman-pengalaman manusia, atau sesuai dengan pandangan atau sikap yang berlaku.

6. Cara Menilai Autoritas
Seorang penulis yang baik dan objektif selalu akan menghindari semua desas-desus, atau kesaksian dari tangan kedua. Penulis yang baik akan membedakan apa yang hanya merupakan pendapat saja, atau pendapat yang sungguh-sungguh didasarkan atas penilitian atau data-data eksperimental. Demikian pula sikap seorang penulis dalam menghadapi autoritas. Ada kemungkinan bahwa suatu autoritas dapat melakukan kesalahan-kesalahan, entah itu dalam hal objektivitas atau koherensinya dengan kemajuan.
Untuk menilai suatu autoritas, penulis dapat memilih beberapa pokok berikut.
a) Tidak Mengandung Prasangka
Dasar pertama yang perlu diketahui oleh penulis adalah bahwa pendapat autoritas sama sekali tidak boleh mengandung prasangka. Yang tidak mengandung prasangka artinya pendapat itu disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli itu sendiri, atau didasarkan pada hasil-hasil eksperimental yang dilakukannya. Pengertian tidak mengandung prasangka juga mencakup hal lain, yaitu bahwa autoritas itu tidak boleh memperoleh keuntungan pribadi dari data-data eksperimentalnya.
Untuk mengetahui apakah autoritas itu tidak memperoleh keuntungan pribadi dari pendapatnya itu, penulis harus memperhatikan apakah autoritas itu berafiliasi dengan partai politik, apakah ada motif ekonomi atau motif politik, dan lain sebagainya. Bila faktor-faktor itu tidak mempengaruhi autoritas itu, maka pendapatnya dapat dianggap sebagai pendapat yang objektif.
b) Pengalaman dan Pendidikan Autoritas
Dasar kedua yang harus diperhitungkan penulis untuk menilai pendapat suatu autoritas adalah menyangkut pengalaman dan pendidikan autoritas. Seseorang yang memiliki pendidikan dan pengalaman di bidang kedokteran tentu lebih memberi keyakinan pada penulis jika dibandingkan hanya seorang mantri di pedesaan.
c) Kemashuran dan Prestise
Faktor ketiga yang harus diperhatikan oleh penulis untuk menilai autoritas adalah meneliti apakah pernyataan atau pendapat yang akan dikutip sebagai autoritas itu hanya sekedar bersembunyi dibalik kemashuran dan prestise pribadi di bidang lain. Apakah ahli itu menyertakan pendapatnya dengan fakta-fakta yang meyakinkan?
Sering terjadi bahwa seseorang yang menjadi terkenal karena prestise tertentu, dianggap berwenang pula dalam segala bidang. Maka harus dipastikan pernyataan yang didapat dari autoritas adalah berasal dari ahli dibidangnya dan disertakan dengan fakta-fakta yang meyakinkan.
d) Koherensi dengan Kemajuan
Hal keempat yang perlu diperhatikan penulis argumentasi adalah apakah pendapat yang diberikan autoritas itu sejalan dengan perkembangan dan kemajuan zaman atau koheren dengan pendapat atau sikap terakhir dalam bidang itu walaupun pengetahuan dan pendapat terakhir tidak selalu berarti bahwa itulah yang terbaik. Tetapi harus diakui bahwa pendapat-pendapat terakhir dari ahli-ahli dalam bidang yang sama terkadang lebih dapat diandalkan, karena autoritas-autoritas semacam itu memperoleh kesempatan yang paling baik untuk membandingkan semua pendapat sebelumnya, dengan segala kebaikan dan keburukannya atau kelemahannya, sehingga mereka dapat mencetuskan suatu pendapat yang lebih baik, yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk memberi evaluasi yang tepat terhadap autoritas yang dikutip, pengarang harus menyebut nama autoritas, gelar, kedudukan, dan sumber khusus tempat kutipan itu dijumpai. Bila mungkin penulis harus mengutip setepat-tepatnya kata-kata atau kalimat autoritas tersebut. Tetapi lain halnya bila dalam diskusi-oral, maka pembicara tidak perlu memberitahukan sumber yang lengkap bagi sebuah kutipan dari suatu autoritas, sebab menceritakan judul buku dengan nomor halaman dan tahun penerbitan akan merusak suasana umum dalam argumentasi.
Untuk memperlihatkan bahwa penulis sungguh-sungguh siap dengan persoalan yang tengah diargumentasikan, maka sebaiknya seluruh argumentasi itu jangan didasarkan hanya pada satu autoritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar