Sepasang suami istri telah mengikat janji di hadapan penghulu, seorang wali, dan beberapa saksi yang hadir. Mereka telah dipertemukan melalui perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Pasangan suami istri ini bekerja sebagai wirausaha. Dalam kehidupan rumah tangganya mereka telah di karuniai tiga orang putri dan salah satunya adalah aku. Ya, kedua pasangan ini merupakan orang tuaku.
Hari itu tepat tanggal 27 Juni 1991, ketika sang bola api terasa begitu menyengat kulit, seorang wanita, yang tidak lain adalah ibuku, tengah berada di rumah seorang bidan. Wanita yang sebelumnya telah melahirkan putri pertamanya 18 tahun yang lalu, serta putri keduanya 9 tahun yang lalu, saat ini harus kembali merasakan dan menahan sakit yang luar biasa untuk membiarkan seseorang di dalam badannya keluar, menghirup udara bumi ini serta merasakan kehidupan layaknya makhluk hidup lainnya. Menempuh perjuangan antara hidup atau mati. Semua tenaga dikerahkan hingga akhirnya lahirlah seorang putri dan itulah aku, anak ketiga dari tiga bersaudara, dalam keadaan suci terbalut ari-ari serta berlumuran darah.
Kedua orang tuaku sepakat memberiku nama Sukesi. Pemberian nama ini awalnya menimbulkan perdebatan antara orang tua dan kedua kakakku. Semula mereka ingin memberiku sebuah nama seperti nama seorang tokoh pewayangan yaitu Dewi Sukesi. Mereka berharap dengan nama itu aku akan memiliki perwatakan sangat bersahaja, jujur, setia, dan kuat dalam pendirian seperti perwatakan tokoh tersebut. Namun setelah melewati beberapa perundingan, diperoleh keputusan akhir yaitu menghilangkan nama Dewi di depannya, sehingga menjadi Sukesi. Menurut mereka nama Sukesi merupakan sebuah nama yang cukup sederhana, sehingga mudah diingat. Di sisi lain, setiap anak dari kedua orang tuaku memiliki nama yang singkat dan juga serderhana. Kakak pertamaku bernama Rahyuni dan kakak keduaku bernama Karutik, sehingga terciptalah sebuah nama yang kemudian dituliskan di atas kertas putih berstempel kelurahan setempat yang biasa disebut akta kelahiran. Nama inilah yang hingga saat ini dikenal oleh orang-orang yang turut terlibat di dalam kehidupanku.
Grobogan merupakan tempat pertama aku menghirup udara, tempat pertama aku memijakkan kaki, dan tempat pertama pula aku mempelajari kehidupan. Sangat disesalkan karena proses pengenalan dengan dunia baruku, tidak berlangsung lama di desa ini. Aku pindah dan meneruskan kehidupan selanjutnya di sebuah rumah yang terletak di Tangerang Selatan. Saat itu usiaku baru menginjak satu tahun. Menjalani hari demi hari bersama sesosok ibu yang mencintaiku dan juga figur seorang kakak yang tidak lelah membantu merawatku, memberikan warna yang selalu berubah setiap saat. Seperti langit biru yang cerah berubah menjadi gelap dengan datangnya badai, sebuah gambaran keadaan disaat kondisi kehidupan kami yang dilanda permasalahan. Seperti bunga-bunga yang sedang memekarkan mahkotanya, terkadang seperti inilah gambaran keadaan indah yang sedang kami rasakan. Meskipun telah menata kehidupan baru di sini, tetapi aku tidak melupakan tempat kelahiranku. Bila ada kesempatan aku mengunjungi desa tersebut, karena hampir seluruh keluargaku tinggal disana, tidak terkecuali ayah dan kakak pertamaku yang sudah berkeluarga.
Bumi ini terus berotasi dan berevolusi tanpa pernah mengenal kata berhenti. Seperti waktu yang terus berputar, membawaku memasuki dunia pendidikan selangkah demi selangkah. Awal pendidikan dimulai dengan terdaftarnya aku di sebuah taman kanak-kanak yang bernama TK Patria bertempat di Rempoa-Ciputat, saat itu usiaku menginjak lima tahun. Aku menjalani kehidupanku seperti anak-anak pada umumnya, senang bermain-main, senang mencoba hal baru, dan dengan ciri khasnya yang nakal. Saat aku berada di TK Patria, aku masuk kelas B yang diajarkan oleh seorang guru bernama ibu Ani. Beliau sangat ramah dan terbilang populer dikalangan anak-anak seusiaku ketika itu. Kehidupan taman kanak-kanak dimulai dengan menyenangkan.
Kelas B adalah tempat pertama aku mengenal dua orang sahabatku. Mereka adalah Etrin dan Evita. Kami bertiga dilahirkan dibulan yang sama. Evita lahir lebih awal, pada tanggal 9 Juni. Disusul dengan lahirnya Etrin pada tanggal 23 Juni. Sedangkan aku pada tanggal 27 Juni. Pertemanan dimulai ketika memasuki kelas yang sama di TK Patria. Tidak hanya sampai disana saja. Memasuki jenjang yang lebih tinggi yaitu tingkat SD, SMP, bahkan hingga ke SMA, kami memasuki kelas yang sama. Meskipun harus berbeda kelas disaat SMP dan SMA. Berangkat dari kebersamaan yang cukup lama inilah, kami bertiga menjadi sangat akrab meski terkadang timbul masalah-masalah yang dapat meretakkan hubungan kami. Dari masalah-masalah tersebutlah kami dapat belajar untuk lebih memahami perasaan seseorang dan lebih mempererat hubungan pertemanan yang telah dibina hingga detik ini.
SDN Kartika Putra II merupakan tempatku bersekolah setelah tamat dari taman kanak-kanak. Disini aku mendapatkan teman-teman yang menyenangkan. Semua cerita-cerita di masa kecilku sebagian besar tertuang di tempat ini. Aku merupakan sosok anak yang penakut, tetapi tetap tidak terlepas dari sifat nakal seorang anak-anak. Untuk menempuh perjalanan menuju tempat belajarku di SDN Kartika Putra II ini, aku harus diantarkan oleh ibu atau kakakku. Masalahnya cukup sederhana, hanya karena aku tidak berani untuk berjalan sendirian menuju tempat belajarku. Hal ini berlangsung sekitar enam bulan. Perjalanan menuju sekolah hari-hari selanjutnya aku lewati bersama kedua temanku Etrin dan Evita. Ini berlanjut hingga kelas VI SD.
Lulus dari sekolah dasar, aku melanjutkan ke sekolah menengah pertama dan saat itu aku diterima di SMPN 4 Ciputat, yang sekarang telah berganti nama menjadi SMPN 10 Tangerang Selatan. Di masa-masa inilah aku mulai merasakan menyukai lawan jenis. Prestasiku di tingkat menengah pertama cukup membuatku tercengang, karena sejak SD aku belum pernah mendapat peringkat sepuluh besar. Tetapi begitu memasuki pengambilan hasil semester 1 di kelas VII, aku memperoleh peringkat 1. Hal ini tentunya membuat orang tua dan kakakku bangga. Karena peringkat inilah, akhirnya aku mendapatkan hadiah yang sangat aku inginkan saat itu. Peringkat 1 masih dapat aku pertahankan hingga kelas VIII. Namun di kelas IX peringkatku menurun menjadi peringkat 3.
Seperti yang dikatakan kebanyakan orang bahwa masa-masa yang paling indah dan berkesan adalah masa ketika SMA. Hal ini juga aku rasakan. Aku bersekolah di SMA 2 Ciputat, namun saat ini telah berganti nama menjadi SMA 4 Tangerang Selatan. Di sekolah inilah aku banyak mendapatkan pengalaman yang menyenangkan. Pengalaman yang paling aku ingat dan masih melekat di hati hingga saat ini, yaitu ketika sekolah mengadakan study tour ke suku Baduy. Aku dan teman-teman sangat senang dan menikmati perjalanan demi perjalanan menuju tempat tersebut. Banyak hal berharga yang kami ambil dari sana. Kami mengenal rasa kebersamaan, rasa saling berbagi, dan rasa saling menghargai orang lain. Kami mengunjungi Baduy Luar dan Baduy Dalam. Di Baduy Luar sama seperti sebuah desa pada umumnya, mungkin hanya beberapa adat dan kebiasaan serta beberapa aturan yang membedakannya. Sedangkan untuk sampai di Baduy dalam, kami harus menempuh perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan. Sekitar 7-8 jam yang harus ditempuh dengan berjalan kaki, melewati perbukitan. Di sana, kami harus mematuhi segala peraturan yang ada. Seperti sebuah pribahasa, dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung. Ya, inilah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi kami ketika berada disana. Kami dilarang untuk menggunakan sabun, pasta gigi, dan sampo. Tidak seorangpun boleh menginjak rumput hijau yang ada di rumah kepala desa. Pada pukul 18.00 WIB, wanita tidak diperbolehkan keluar, kecuali untuk buang air di sungai. Disana sama sekali tidak ada penerangan. Walaupun merasakan hal-hal seperti ini, namun kami sangat menikmati nya, dan berharap hal ini dapat terulang lagi seperti saat itu.
Di dalam hidup ini manusia tidak selamanya akan terus mengalami hal-hal indah. Ada kalanya kita akan merasakan sebuah pengalaman buruk yang tidak akan kita lupakan, bahkan dapat menjadi sebuah trauma yang luar biasa. Sebelum memasuki SMA, aku mengalami peristiwa buruk yang tentunya hingga saat ini masih terngiang di kepalaku. Peristiwa itu membuatku bimbang menentukan masa depanku sendiri, membuatku hampir putus asa terhadap kehidupan ini. Hingga pada akhirnya semua ini membawaku ke Universitas Gunadarma, yang saat ini menjadi tempat terakhirku untuk mengejar sebuah impian yang hampir kandas. Di sana aku mengambil jurusan S1 Teknik Informatika. Apa yang aku pikirkan ternyata berbeda dengan kenyataan. Teknik Informatika tidak semudah yang aku bayangkan, semuanya terasa begitu sulit. Tapi nasi sudah menjadi bubur, aku harus tetap mempelajarinya dan menikmatinya menjadi sesuatu yang mudah.
Memakai seragam dengan atasan putih, serta bawahan putih, terlihat sibuk di sebuah laboratorium sambil terus meneliti dan memeriksa dengan menggunakan mikroskop dan peralatan lain sejenisnya, merupakan sebuah cita-cita yang tidak dapat aku wujudkan. Inilah yang menjadi sebuah pengalaman buruk tak terlupakan. Peristiwa ini bermula saat pendaftaran ke jenjang SMA. Ketika itu aku mendaftarkan diri ke sekolah menengah kejuruan analis yang terletak di daerah Cibubur. Aku sangat mendambakan dapat bersekolah disana. Dari serangkaian test yang telah dijalani, semua menyatakan bahwa aku di terima. Tetapi test masih belum berhenti sampai disini, karena masih ada test kesehatan yang harus dijalani, dan menjadi penentuan terakhir, apakah aku diterima atau tidak. Meski belum seutuhnya diterima, namun mulai saat itu aku harus menjalani segala peraturan dan ketentuan yang ada disana. Berangkat pagi, ketika matahari masih bersembunyi, dan pulang ketika matahari kembali lagi untuk bersembunyi. Seperti inlah kegiatanku dalam seminggu sebelum test kesehatan berlangsung.
Hari penentuan terakhir telah tiba, saat ini aku sedang menjalani test kesehatan. Semua organ tubuh diperiksa tanpa terkecuali. Pada hari itu, kondisi tubuhku memang sedang tidak baik. Keesokan harinya aku kembali lagi ke sekolah tersebut, ditemani oleh kakakku untuk melihat pengumuman hasil test yang terakhir. Melihat itu, tubuhku seperti dihempaskan ke bawah dari gedung tertinggi, irama detak jantung menjadi cepat seketika, serta hembusan napas menjadi sangat tidak beraturan. Hening, tidak sepatah katapun dapat aku ungkapkan. Aku berjalan menuju mobil, dan berkata kepada kakak “Mungkin ini bukan jalan hidupku”. Hasil test menyatakan aku menderita sebuah penyakit yang tidak diperbolehkan untuk masuk ke sekolah tersebut. Aku pulang dengan putus asa, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah ini. Berkat dorongan orang-orang terdekatku, akhirnya aku kembali bangkit dan memutuskan untuk meneruskan ke jenjang SMA.
Peristiwa demi peristiwa terus menghiasi perjalanan hidup seseorang. Pahit dan manis menjadi komponen penting yang menjadikan perjalanan hidup seseorang terasa bermakna. Tidak terasa aku telah mengarungi kehidupan selama hampir 20 tahun. Semua kejadian-kejadian yang telah menghiasi hidup ini, akan ku jadikan sebuah kenangan dan juga pelajaran untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik lagi. Dalam menjalani kehidupan ini aku memiliki semboyan yang terus membuatku bersemangat untuk menjalani hidup ini. “Jangan pernah melihat ke belakang atau akan tertinggal, tetapi jangan pernah melupakan apa yang ada di belakang”. Ini merupakan salah satu semboyan hidupku, yang berarti kita tidak boleh terus mengingat masa lalu, apalagi itu adalah kenangan yang buruk. Dengan terus mengingatnya hanya akan membuat kita jadi pesimis dan dilanda ketakutan. Tetapi masa lalu itu juga tidak boleh dilupakan, karena hal itu dapat dijadikan sebuah pelajaran agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti di masa lalu.
created by kesi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar